Berdasarkan legenda, pada era kerajaan Majapahit, bangsa Tartar dari Asia Timur sempat menguasai daerah Blitar yang kala itu belum bernama Blitar. Majapahit merasa perlu untuk merebutnya dengan mengutus Nilasuwarna untuk memukul mundur bangsa Tartar.
Keberuntungan berpihak pada Nilasuwarna, ia dapat mengusir bangsa Tartar itu. Atas jasanya, ia dianugerahi gelar sebagai Adipati Aryo Blitar dan diangkat sebagai adipati pertama dengan diberi wilayah kekuasaan yaitu daerah yang berhasil direbutnya tersebut. Ia menamakan tanah yang berhasil ia bebaskan dengan nama Balitar yang berarti kembali pulangnya bangsa Tartar.
Kota Blitar ditetapkan sebagai Gemeente (kotapraja) sejak tanggal 1 April 1906 berdasarkan peraturan Staatsblad van Nederlandsche Indie No. 150/1906. (bersamaan dengan dibentuknya beberapa kota lain di Pulau Jawa, antara lain Batavia, Buitenzorg, Bandoeng, Cheribon, Kota Magelang, Samarang, Salatiga, Madioen, Soerabaja, dan Pasoeroean).
Dengan statusnya sebagai gemeente, selanjutnya di Blitar juga dibentuk Dewan Kotapradja Blitar yang beranggotakan 13 orang dan mendapatkan subsidi sebesar 11.850 gulden dari Pemerintah Hindia Belanda. Untuk sementara, jabatan burgemeester (wali kota) dirangkap oleh Residen Kediri.
Pada zaman pendudukan Jepang, berdasarkan Osamu Seirei tahun 1942, kota ini disebut sebagai Blitar-shi dengan luas wilayah 16,1 km² dan dipimpin oleh seorang shi-ch?.
Selanjutnya, berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang No. 17/1950, Kota Blitar ditetapkan sebagai daerah kota kecil dengan luas wilayah 16,1 km². Dalam perkembangannya, nama kota ini kemudian diubah lagi menjadi Kotamadya Blitar berdasarkan Undang-Undang No. 18/1965. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 48/1982, luas wilayah Kotamadya Blitar ditambah menjadi 32,58 km² serta dikembangkan dari satu menjadi tiga kecamatan dengan dua puluh kelurahan. Terakhir, berdasarkan Undang-Undang No. 22/1999, nama Kotamadya Blitar diubah menjadi Kota Blitar.